BeritaKampusSuara Pembaca

Menyikapi PEMIRA 2024, melalui Keterlibatan KPR serta Indikasi Inkonsistensi Hukum dalam Pelaksanaannya

×

Menyikapi PEMIRA 2024, melalui Keterlibatan KPR serta Indikasi Inkonsistensi Hukum dalam Pelaksanaannya

Sebarkan artikel ini
By : Pinterest

Darussalam – Penyelenggaraan Pemilihan Raya (Pemira) Universitas Syiah Kuala (USK) merupakan pesta demokrasi di lingkungan mahasiswa yang dirancang untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Ketua, dan Wakil Ketua BEM USK yang akan mengemban amanah mewakili aspirasi dan mengatur kepentingan mahasiswa. Pemira USK bukan sekadar ajang adu srategi politik semata, namun juga menjadi sarana pembelajaran nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Dalam pelaksanaannya, Pemira USK dilaksanakan oleh lembaga independen yang dikenal dengan nama Komisi Pemilihan Raya (KPR).  Lembaga ini bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan Pemira, yaitu KPR mempunyai kewenangan merancang, menyelenggarakan, dan mengawasi seluruh tahapan pemilu, mulai dari pendaftaran calon, kampanye, hingga penghitungan suara. Peran KPR sangat strategis dalam memastikan proses pemilu berlangsung secara transparan, jujur, dan adil, sehingga dapat mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang ingin ditanamkan oleh mahasiswa.

Setelah Pemira berakhir, muncullah video mengenai deklarasi kemenangan salah satu calon ketua dan wakil ketua BEM USK yang beredar di media sosial, dimana dalam video tersebut terlihat dua anggota KPR USK menghadiri deklarasi tersebut. Kehadiran anggota KPR dalam acara deklarasi kemenangan salah satu calon telah memunculkan pertanyaan mengenai potensi keberpihakan yang dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap independensi KPR.

Selain itu, profesionalisme Komisi Pemilihan Umum (KPR) dalam menangani perselisihan Pemira juga patut diperhatikan secara kritis. Beberapa pihak mengungkapkan kekhawatiran bahwa KPR belum sepenuhnya mempertimbangkan semua berkas gugatan yang diajukan oleh salah satu pasangan calon (paslon) terkait dugaan intimidasi dan kecurangan selama proses Pemira. Karena dari total 40 perkara yang diajukan, KPR hanya menerima 4 perkara, sementara menurut penggugat, mereka telah melampirkan bukti-bukti yang secara hukum dianggap cukup jelas dan relevan, serta didukung oleh saksi-saksi yang dapat dipercaya.

Dalam hal ini, KPR diharapkan dapat memberikan penjelasan hukum yang lebih terperinci terkait dasar penolakan terhadap sebagian besar perkara tersebut, guna memastikan hak akses terhadap keadilan bagi semua pihak dapat terpenuhi. Dalam konteks UU Pemilu, ketidakjelasan yang terjadi dapat berpotensi mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap proses pemira dan sebaiknya diatasi untuk mencegah preseden yang kurang baik bagi penyelenggaraan Pemira di masa mendatang. Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang diterapkan KPR, agar sesuai dengan prinsip due process of law dan menjamin perlindungan hak hukum terhadap semua pihak yang terlibat.

Dalam kepengurusannya  KPR diduga mempunyai tantangan mendasar, khususnya dalam pengaturannya. Hal ini terlihat dari adanya beberapa ketentuan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPR) yang menunjukkan inkonsistensi normatif yang mencolok dan kurang mencerminkan asas koherensi hukum. Contohnya pada PKPR Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum Universitas Syiah Kuala khususnya Pasal 3 hanya mengatur secara tegas tugas dan wewenang KPR dalam rangka penyelenggaraan Pemira, tanpa mencantumkan kewenangan penyelesaian perselisihan Pemira. Namun, seketika terdapat aturan lebih lanjut dalam PKPR yang memberikan kewenangan kepada KPR untuk menangani dan memutus perkara gugatan terkait sengketa Pemira. Dualisme aturan ini tidak hanya menimbulkan kerancuan penafsiran, namun juga dapat berpotensi menimbulkan Inkonsistensi normatif yang tidak sejalan dengan asas lex certa, yaitu asas bahwa undang-undang harus dirumuskan dengan jelas dan dapat dipahami. Adanya ketentuan yang ambigu dan tidak berkelanjutan pun dapat memengaruhi penerapan asas legalitas yang menjadi dasar pembentukan dan pelaksanaan peraturan hukum, termasuk dalam konteks penyelenggaraan Pemira.

Sebagai langkah perbaikan yang konstruktif, KPR diharapkan dapat terus meningkatkan profesionalisme dan independensinya dalam penyelenggaraan Pemira. Penting bagi KPR untuk merumuskan pedoman yang jelas terkait penyelesaian sengketa, sehingga setiap penggugat merasa mendapatkan perlakuan yang adil dan hak-haknya terpenuhi. Selain itu, KPR disarankan untuk memperkuat komunikasi dan sosialisasi mengenai aturan yang berlaku, guna menghindari kebingungan di kalangan mahasiswa USK. Besar harapan, KPR sebagai wadah pelaksanaan Pemira dapat menciptakan pemilihan yang adil, transparan, serta tidak bias dalam penyelenggaraannya. Sehingga kemudian tidak hanya dapat menghasilkan pemimpin yang kompeten, namun juga memperkuat kepercayaan mahasiswa terhadap pelaksanaan Pemira.

(Press Release/Eko Rahman)

Editor : Meisya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *