BeritaKampus

Ruang (Ny)aman : Teror di Ruang Kerja

×

Ruang (Ny)aman : Teror di Ruang Kerja

Sebarkan artikel ini

Darussalam – Istilah pelecehan seksual saat kini kian berbunga mekar, dengan sodoran berita pelik pelecehan pada mahasiswi salah satu Universitas percontohan yang berakhir damai. Lembar hitam akan tercetak dalam  kehidupan para korban pelecehan seksual, komentar dan bisik-bisik berbau seksual pastinya menghujani tiap garis pertahanan mereka.

Pelecehan seksual (Sexual Harrasment) sejatinya merupakan segala tindakan bermuatan seksual yang tak diinginkan. Perbuatan ini dapat membuat korban merasa tersinggung, dipermalukan, dan terintimidasi sehingga memengaruhi kondisi psikisnya.

Lingkungan kerja menjadi salah satu tempat yang rawan atas pelecehan seksual. Pelecehan seksual di tempat kerja masih menjadi masalah yang tak terpecahkan khususnya di Indonesia karena kebanyakan perusahaan tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk menyelesaikan isu tersebut. Relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku menjadi salah satu pemicu timbulnya pelecehan seksual di tempat kerja.

Hasil penelitian Perempuan Mahardhika menemukan bahwa 56,5 persen dari 773 buruh perempuan di Indonesia menjadi korban pelecehan seksual. (Sumber : survey cosmopolitan dan perempuan Mahardika). Tapi ini jelas tak mencakup pekerja kerah putih yang kasusnya amat mungkin tak sedikit.

Pelecehan seksual dapat terjadi kepada siapa saja, tanpa memandang gender. Namun, menurut penelitian yang dilakukan TUC, pusat serikat pekerja di Inggris, perempuan menempati urutan utama sebagai korban pelecehan seksual di tempat kerja dibanding laki-laki.

Masyarakat umum kerap belum paham sepenuhnya soal bentuk-bentuk pelecehan seksual di tempat kerja. Padahal, perilaku sesimpel siulan atau komentar bermuatan seksual pun sebenarnya dapat menjadi bentuk pelecehan seksual. Namun banyak orang menoleransi tindakan-tindakan tersebut, karena tak semua orang punya pandangan serupa atasnya. Ini jugalah yang menyebabkan batas kategori pelecehan seksual di lingkungan kerja menjadi kabur.

Pelaku pelecehan seksual juga dapat digugat melalui Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Instrumen hukum paling mutakhir adalah Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor SE.03/MEN/ IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja.

Jadi sesungguhnya, dasar dan payung hukum terkait pelecehan seksual di tempat kerja, telah tersedia dalam ranah hukum Indonesia.

“Pelecehan seksual biasanya susah untuk diproses. Paling nice penanganannya ya kayak mediasi gitu. Pakai aturan di kantor seperti ada pemberhentian permanen, dan skors atau pemberhentian sementara. Umumnya gitu sih” kata salah satu narasumber anonim.

Dalam merespon pelecehan seksual, mayoritas korban cenderung berusaha menghindari situasi kerja tertentu yang kadang terjebak dengan kondisi finansial. Selain itu, juga terdapat pola dampak psikologis yang dialami korban pelecehan seksual di tempat kerja, seperti rasa tidak percaya diri hingga depresi.

Upaya penanganan kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja Indonesia tak lepas dari pemahaman masyarakat akan kesetaraan gender, dan sikap atasan di perusahaan terkait. Mereka yang menjadi korban, tak mesti menanggung segala beban sendiri. Mana ruang (Ny)aman untuk mereka (pekerja perempuan), bukannya kita pernah sepakat atau malah tidak pernah? (Nanda)