Darussalam – Banyak mahasiswa yang mengaku kerap mengerjakan tugas mendekati tenggat waktu. Fenomena ini melahirkan istilah Deadline Warriors atau sebutan bagi mereka yang merasa produktivitas meningkat saat tekanan waktu semakin kuat. Bagi sebagian mahasiswa, kebiasaan ini dianggap sebagai bagian dari “tradisi” kehidupan kampus. Begadang semalaman untuk menyelesaikan tugas di detik terakhir, ditemani kopi dan camilan, seringkali dianggap sebagai bukti kerja keras dan dedikasi. Bahkan, candaan soal SKS atau sistem kebut semalam kerap menghiasi media sosial, seolah-olah hal ini adalah hal biasa dan tak perlu dikhawatirkan.
Namun di balik tradisi ini, ada bahaya tersembunyi yang jarang disadari oleh para mahasiswa. Sejumlah ahli kesehatan memperingatkan bahwa kebiasaan bekerja di bawah tekanan waktu secara terus-menerus bisa berdampak serius bagi fisik dan mental. Ketika seseorang menghadapi deadline, tubuh memproduksi hormon adrenalin dan kortisol yang berfungsi membantu mereka tetap fokus dan waspada. Adrenalin memang bisa meningkatkan fokus dalam jangka pendek, tetapi ketika hal ini menjadi kebiasaan, tubuh akan terus-menerus berada dalam mode stres. Efeknya tidak hanya terasa secara fisik seperti lelah dan pusing, tetapi juga memengaruhi kinerja akademis. Dengan waktu yang sempit, mahasiswa sering melewatkan proses revisi dan evaluasi tugas, sehingga hasil akhirnya kurang optimal. Ketika waktu pengerjaan terlalu mepet, biasanya mahasiswa tidak punya waktu untuk memeriksa kembali pekerjaannya, dan itu berdampak pada hasil akhir.
Dinda, mahasiswi semester 4 prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, mengaku dulu merupakan seorang Deadline Warrior sejati.
“Dulu saya selalu mulai ngerjain tugas malam terakhir. Rasanya seperti ide baru muncul kalau waktunya sudah mepet. Adrenalin naik, dan tiba-tiba semuanya mengalir begitu saja,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Namun, di balik itu Dinda merasakan dampaknya. Begadang berjam-jam membuatnya kelelahan keesokan harinya, bahkan sampai kehilangan fokus di kelas.
“Setelah mengumpulkan tugas, biasanya besoknya saya lemas, kurang tidur, dan tak bisa konsen di kelas. Tapi waktu itu saya berpikir ya udah biasa, kan mahasiswa” tambahnya. Seiring waktu, Dinda menyadari bahwa kebiasaan tersebut tidak sehat. Ia mulai mencari cara untuk mengatur waktu lebih baik.
“Sekarang saya coba buat timeline pengerjaan. Misalnya, seminggu sebelum deadline saya mulai cari referensi dulu, lalu pecah tugasnya jadi bagian kecil. Rasanya lebih tenang, dan hasil tugas juga lebih rapi,” jelas Dinda.
Bagi mahasiswa yang ingin keluar dari kebiasaan ini, ada beberapa strategi sederhana yang bisa diterapkan:
1. Buat rencana kerja bertahap
Pecah tugas besar menjadi bagian-bagian kecil. Misalnya, alokasikan waktu untuk riset, penulisan draft, dan revisi secara terpisah.
2. Gunakan teknik manajemen waktu
Metode seperti pomodoro bekerja selama 25 menit, lalu istirahat 5 menit bisa membantu menjaga fokus tanpa merasa tertekan.
3. Evaluasi tugas lebih awal
Sisihkan waktu setidaknya satu hari sebelum deadline untuk memeriksa ulang tugas. Ini memberi ruang untuk revisi agar hasil akhir lebih maksimal.
4. Cari teman seperjuangan
Memiliki teman yang juga ingin mengatur waktu lebih baik bisa menjadi motivasi. Kalian bisa saling mengingatkan dan berdiskusi terkait progres tugas masing-masing.
Fenomena Deadline Warriors memang telah menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa, namun itu bukan berarti cara kerja ini sehat atau produktif. Mengandalkan adrenalin di detik terakhir bukan solusi jangka panjang. Perubahan memang tidak mudah, tetapi dengan kesadaran dan strategi yang tepat, mahasiswa bisa tetap produktif tanpa harus mengorbankan kesehatan fisik dan mental.
Jadi, siapkah kamu memutus siklus ini dan mulai membangun kebiasaan baru yang lebih sehat dan efektif?
(Perspektif/Ririn Andini)
Editor : Syawira Rahma Hidaya