Darussalam – Pernyataan dari Menteri Nadiem Makarim tentang skripsi yang akan dihapus dari syarat kelulusan ramai diperbincangkan oleh masyarakat khususnya kalangan mahasiswa. Aturan ini tertulis di Peraturan Mentri Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 sejak 18 Agustus 2023 tentang Penjamin Mutu Pendidikan Tinggi tidak wajib bagi mahasiswa S1 dan D4 untuk membuat skripsi sebagai tugas akhir.
Kebijakan baru ini disambut baik oleh para mahasiswa. Perasaan senang membayangkan dapat lulus kuliah tanpa harus mengerjakan skripsi yang menjadi beban paling berat di dunia perkuliahan.
Nabila, salah satu mahasiswa semester 5 Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK), mengatakan bahwa ketika mendengar skripsi dihapus dia merasa sangat senang dan mengatakan bahwa skripsi itu adalah salah satu faktor yang membuat mahasiwa lulus lebih lambat dari yang direncanakan.
“Ada perasaan senang sih ketika mendengar skripsi bakal dihapuskan, karena skripsi itu salah satu kendala bagi mahasiswa untuk bisa lulus cepat,” jelas Nabila menyampaikan pendapatnya terkait berita penghapusan skripsi.
Sementara Regia, yang juga merupakan mahasiswa semester 5 FEB USK, mengatakan tidak keberatan menulis skripsi untuk syarat kelulusan kuliah, akan tetapi dia merasa skripsi itu tidak dibutuhkan ketika masuk ke dunia kerja.
“Sebenarnya kalau aku pribadi ga jadi masalah untuk menulis skripsi sebagai tugas akhir, tapi terkadang skripsi itu ga ditanyakan ketika kita masuk dunia kerja,” ujar Regia mengutarakan pendapat yang sedikit berbeda dari Nabila sebelumnya.
Tapi, apakah benar skripsi telah dihapus? Menurut pernyataan Nadiem Makariem, skripsi tidak lagi harus menjadi syarat kelulusan kuliah, tetapi perguruan tinggi diberikan kebebasan untuk merancang sendiri standar kelulusan para mahasiswanya. Jadi, apakah mahasiswa tetap harus mengerjakan skripsi untuk syarat kelulusan, itu bergantung kepada kebijakan dari perguruan tinggi masing-masing.
Menteri Nadiem Makariem pun menegaskan bahwa ketentuan ini hanya berlaku untuk mahasiswa S1, sementara mahasiswa S2 dan S3 tetap wajib diberi tugas akhir dalam bentuk tesis/disertasi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis, tetapi tidak lagi wajib diterbitkan di jurnal ilmiah.
Namun, keputusan untuk tidak mewajibkan skripsi ini tentu menuai pro-kontra dari berbagai kalangan masyarakat, baik dari mahasiswa, dosen, ataupun masyarakat awam.
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa skripsi seharusnya tidak lagi menjadi kewajiban bagi mahasiswa sebagai syarat kelulusan. Karena, banyak alternatif keterampilan lain yang lebih relevan, praktis, dan efisien juga bermanfaat sesuai dengan bidang studi dan pekerjaan yang mahasiswa inginkan. Beberapa contoh seperti karya tulis, portofolio kreatif, proyek kolaboratif, dan lainnya yang dapat disepakati oleh instansi perguruan tinggi yang bersangkutan.
Sebaliknya, pihak-pihak kontra mengatakan skripsi haruslah tetap menjadi syarat kelulusan mahasiswa S1, karena skripsi merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan penelitian, keterampilan analitis dan komunikasi yang tentu sangat penting bagi mahasiswa di dunia profesional nantinya. Selain itu, skripsi merupakan sebuah wujud penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, dimana skripsi merupakan media untuk mengetahui bagaimana suatu ilmu berkembang dan menyumbangkan pengetahuan baru yang bermanfaat untuk bidang studi ataupun masyarakat.
Keputusan apakah skripsi tetap menjadi syarat kelulusan atau tidak sangat bergantung pada kebijakan dan tujuan masing-masing perguruan tinggi atau program studi. Kedua opsi ini harus mempertimbangkan kebutuhan dan minat mahasiswa dengan sumber daya yang tersedia. Perguruan tinggi juga harus tetap mempertimbangkan filosofi pendidikan yang dianut oleh institusi tersebut sebelum memtuskan menjadikan skripsi sebagai syarat kelulusan atau tidak.
(Perspektif/ Dania Poeja Margareta Sitorus & Naurah Syakirah)
Desain: Naflatul Fatin
Editor: Astri Rahma Deyta