BeritaOpini

Ketika Syariat Dipertanyakan, Menakar Ulang Kredibilitas Penerapan Nilai Agama

×

Ketika Syariat Dipertanyakan, Menakar Ulang Kredibilitas Penerapan Nilai Agama

Sebarkan artikel ini
By : Iqbal

Darussalam – Dalam catatan sejarah, masyarakat Aceh sudah mengenal syariat Islam jauh sebelum Indonesia lahir dan mempunyai legalitas tertinggi dalam aturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan dikeluarkannya UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 menjadi modal bagi masyarakat Aceh untuk kembali menerapkan syariat Islam secara formal melalui Qanun. Identitas ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Aceh, karena dianggap sebagai bentuk ketaatan dan penghormatan terhadap nilai-nilai agama.

Beberapa aspek penerapan syariah di Aceh telah menunjukkan hasil positif, membuktikan bahwa nilai-nilai agama mampu menjadi landasan pembangunan moral dan sosial yang kuat. Misalnya, ketenangan dan ketertiban umum di beberapa daerah kian terasa dengan adanya penegakan hukum syariat terkait perjudian atau peredaran minuman keras. Pelaksanaan hukum cambuk sebagai bentuk sanksi terhadap pelanggaran syariat, seperti khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), juga menjadi salah satu bentuk penegakan yang terlihat jelas di masyarakat. Ini menunjukkan komitmen nyata dalam menciptakan lingkungan yang lebih religius dan kondusif, sejalan dengan harapan masyarakat Aceh.

Namun, pada praktiknya, efektivitas penerapan prinsip-prinsip syariah sering kali menimbulkan pertanyaan. Bukan karena menolak aturan syariah, akan tetapi karena rasa percaya akan pelaksanaannya yang masih belum kuat. Di lapangan, tantangan terbesar dalam menjaga kredibilitas agama adalah ketidakseimbangan antara aturan dan pelaksanaannya. Masih ada kesan bahwa syariat hanya diterapkan secara kasat mata, seperti pengawasan tempat hiburan malam atau razia pakaian, tanpa disertai dengan upaya untuk meningkatkan akhlak dan pemahaman agama yang mendalam.

Survei Indeks Pembangunan Syariah (IPS) di Aceh tahun 2024 menunjukkan adanya peningkatan pada enam dari tujuh dimensi yang diukur jika dibandingkan dengan data tahun 2021. Namun, dimensi akhlak justru mengalami penurunan, dari skor 88,06 pada 2021 menjadi 82,50 pada 2024. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam, mengapa dimensi akhlak mengalami penurunan di tengah peningkatan dimensi lain, padahal akhlak merupakan fondasi utama dalam pembangunan syariah yang berkelanjutan.

Fenomena ini diperparah dengan belum optimalnya penegakan hukum terhadap beberapa isu krusial. Contoh nyatanya adalah praktik judi online. Meskipun Pemerintah Aceh telah mengatur larangan terhadap segala bentuk perjudian, termasuk judi online, melalui Qanun Nomor 6 Tahun 2014, tetapi pada kenyataannya praktik judi online masih marak bahkan hingga meresahkan masyarakat, dan yang lebih memprihatinkan adalah para pelaku tersebut masih berkeliaran tanpa adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum. Situasi ini menimbulkan spekulasi di kalangan masyarakat bahwa penerapan hukum syariat di Aceh belum dijalankan secara optimal. Hal tersebut berpotensi menurunkan kredibilitas agama dan prinsip syariah yang menjadi landasan utama dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Maka, sudah selayaknya kita memandang penerapan syariat di Aceh secara objektif. Ada capaian yang patut diapresiasi, namun juga ada tugas besar yang harus segera diselesaikan. Kredibilitas agama sebagai pedoman hidup tidak hanya diukur dari seberapa banyak aturan yang diberlakukan, melainkan juga dari seberapa besar dampak positif yang dihasilkan bagi kesejahteraan seluruh umat, serta seberapa jujur dan adil para pemangku kebijakan dalam menjalankannya. Ketika penegakan hanya bersifat simbolik, atau terlihat tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pun perlahan luntur, dan pada akhirnya membuat sebagian masyarakat, terutama generasi muda, merasa skeptis terhadap nilai-nilai agama yang seharusnya luhur dan universal. Tantangan ke depan bagi Aceh adalah bagaimana memastikan bahwa syariat Islam benar-benar menjadi rahmat bagi semua, bukan hanya sebatas simbol, melainkan menjelma menjadi praktik nyata yang membawa kemajuan dan keadilan yang merata.

(Perspektif/ Hanifah&Iqbal)

Editor: Akif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *