BeritaNasionalOpini

Menambang Keuntungan, tapi Merusak Alam ? Dilema Nikel di Raja Ampat

×

Menambang Keuntungan, tapi Merusak Alam ? Dilema Nikel di Raja Ampat

Sebarkan artikel ini
By : DEMOCRAZY.ID

Darussalam – Pada 10 Juni 2025, pemerintah resmi mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kegiatan tambang nikel di kawasan ini, khususnya di Pulau Gag, bermula sejak pemberian izin usaha pada tahun 1972. Sejak saat itu, keberadaan tambang mulai menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan. Meski Raja Ampat dikenal sebagai kawasan konservasi laut yang mendunia, eksploitasi sumber daya alam seperti nikel telah menimbulkan polemik. Pertanyaannya adalah apakah pertumbuhan ekonomi melalui pertambangan nikel sepadan dengan risiko ekologis yang ditimbulkan?

Aktivitas tambang memang mendatangkan sejumlah dampak positif, seperti membuka lapangan kerja, mendorong pertumbuhan usaha mikro, serta meningkatkan pendapatan daerah. Selain itu, nikel juga merupakan bahan baku penting bagi sektor industri, termasuk otomotif dan manufaktur, yang dapat mendongkrak perekonomian nasional. Namun, kenyataannya, tidak semua keuntungan ekonomi tersebut dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Timbul pertanyaan oleh masyarakat, siapa yang sebenarnya diuntungkan, masyarakat atau para investor besar?

Mengutip Kompas TV, kontribusi pajak dan bukan pajak dari pengelolaan nikel di Raja Ampat mencapai 2,1 triliun selama periode 2018-2023. Penerimaan ini dicapai dari pengelolaan oleh PT Gag Nikel selama lima tahun terakhir yang beroperasi di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. PT Gag Nikel merupakan satu-satunya perusahaan yang izin operasionalnya masih diperpanjang karena dinilai memenuhi standar lingkungan. Meski pendapatan tersebut tampak signifikan, namun bagaimana dampak jangka panjangnya terhadap sektor perikanan dan pariwisata yang menjadi tumpuan ekonomi lokal?

Dari sisi pariwisata, dikutip dari Tempo.com, jumlah wisatawan ke Raja Ampat terus meningkat, mencapai 33,277 wisatawan pada 2024, dimana meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian besar wisatawan berasal dari mancanegara. Pertumbuhan ini mencerminkan potensi besar pariwisata sebagai sumber penghasilan berkelanjutan. Sayangnya, potensi ini bisa terancam oleh aktivitas tambang yang merusak ekosistem laut dan darat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang transparan, adil, serta melibatkan masyarakat lokal agar seluruh pihak dapat merasakan manfaat secara seimbang. Memang dari segi keuntungan dan pendapatan, aktivitas tambang jauh lebih besar, namun bagaimana dengan potensi kerusakan jangka panjang yang bisa mengorbankan masa depan generasi lokal?

Hal yang sering terlupakan dari narasi “pertumbuhan ekonomi” adalah kenyataan bahwa Raja Ampat bukan sekadar lahan eksplorasi, melainkan wilayah hidup yang kaya akan keanekaragaman hayati serta kekayaan budaya. Saat tambang nikel memasuki kawasan ini, yang dipertaruhkan bukan hanya angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), melainkan ekosistem yang telah dijaga turun temurun oleh masyarakat adat.

Raja Ampat dikenal sebagai pusat biodiversitas laut dunia, dengan lebih dari 600 spesies karang dan 1,500 spesies ikan. Kawasan ini dianggap sebagai surga terakhir keanekaragaman hayati laut. Namun, aktivitas tambang berpotensi menimbulkan sedimentasi, pencemaran air, dan kerusakan terumbu karang. Menurut laporan Greenpeace Indonesia (2024), eksplorasi tambang sebelumnya telah merusak ratusan hektare hutan dan menyebabkan aliran lumpur ke pesisir yang sensitif secara ekologis.

Lebih mengkhawatirkan lagi, masyarakat adat kerap diabaikan dalam proses perizinan. Mengutip Kompas.com (2025), warga dari 12 kampung di Waigeo menyatakan penolakan terhadap tambang karena tidak dilibatkan secara adil dalam proses pengambilan keputusan. Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang seharusnya menjadi acuan, justru hanya dijalankan sebagai formalitas semata. Padahal, tanah dan laut bukan sekadar sumber ekonomi bagi mereka, melainkan bagian dari identitas dan spiritualitas yang tak tergantikan.

Meski pemerintah pusat telah mencabut sebagian izin, namun belum terlihat perubahan tata kelola yang benar-benar berpihak pada masyarakat adat. Pemerintah daerah pun kerap berada dalam posisi yang dilematis, terhimpit antara tekanan investasi dan keinginan mempertahankan warisan alam.

Jika pembangunan hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi, maka masyarakat lokal yang akan membayar harga paling mahal melalui kerusakan lingkungan dan hilangnya ruang hidup. Kerusakan ekologis tidak bisa dikembalikan, dan budaya yang terenggut tidak bisa digantikan.

Raja Ampat bukan tanah kosong. Tempat ini merupakan rumah bagi kehidupan, pengetahuan lokal, dan masa depan yang harus dijaga. Tanpa keadilan ekologis dan partisipasi masyarakat adat, pembangunan hanya akan menjadi bentuk baru dari perampasan dan itu bukan kemajuan, melainkan kemunduran.

(Perspektif/Ahmad Syah Daud & Achmadi Faris Aqiyla)

Editor: Nabila Anris Putri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *