BeritaKampusOpini

Menumbuhkan Api Kepedulian : Menilik Apatisme dalam Kehidupan Sosial Mahasiswa

×

Menumbuhkan Api Kepedulian : Menilik Apatisme dalam Kehidupan Sosial Mahasiswa

Sebarkan artikel ini

Darussalam – Kalimat-kalimat pengharapan masyarakat terhadap mahasiswa seperti ; mahasiswa seharusnya mampu menjadi agent of change, ujung tombak kemajuan negara, penyambung lidah antara masyarakat menuju pemerintah dan lain sebagainya. Banyak harapan-harapan yang dibebankan ke pundak para mahasiswa. Bukan tanpa sebab, mahasiswa dianggap memiliki akses terdekat dengan ilmu pengetahuan yang tidak semua orang memilikinya. Lantas sebagai mahasiswa kita tergerak untuk memenuhi harapan-harapan dunia kepada kita. Kunci untuk mencapai harapan-harapan tersebut sejatinya hanya satu yakni ‘kepedulian’. Jika kepedulian tidak tertanam di benak tiap-tiap mahasiswa maka yang ada hanya ketidakpedulian atau yang gamblangnya dikatakan mahasiswa apatis. Padahal peran kita sebagai agen perubahan bukan melulu perihal membawa perubahan besar di masyarakat ataupun negara, setidaknya kita diharapkan mampu membawa perubahan bagi diri sendiri.

Kemudian kita amati lingkungan sosial mahasiswa di zaman sekarang ini, memang benar masih banyak dijumpai mahasiswa-mahasiswa yang dengan gagah berani turun dalam menyambungkan aspirasi-aspirasi kepada pemerintah. Namun, rasa kepedulian itu kian tahun kian berkurang, baik untuk negara maupun lingkungan terdekat mahasiswa.  Fenomena ini disebut sebagai apatisme sosial, mahasiswa atau muda-mudi kehilangan minat untuk terlibat dalam politik kampus maupun negara, organisasi mahasiswa, kelompok belajar, atau bahkan hingga interaksi sosial biasa.

Kita coba amati lingkungan sekitar dengan lingkup yang lebih sempit. Saat kerja kelompok, bukankah di kesempatan ini sering ditemui mahasiswa-mahasiswa yang enggan berpartisipasi aktif, enggan peduli atau kerasnya disebutlah ‘apatis’, padahal hal-hal kecil seperti kerja kelompok itu adalah salah satu cara untuk mewujudkan angan agent of change, perubahan untuk diri sendiri, untuk mendapatkan ilmu dan keuntungan –nilai– bagi diri sendiri, lantas mengapa masih ada yang enggan untuk peduli? Memang tugas kelompok itu rasanya merepotkan, tapi jika diacuhkan juga akan merepotkan bagi orang lain.

Apatisme di kehidupan sosial mahasiswa beberapa faktor penyebabnya adalah seperti beban akademik yang tinggi, mahasiswa memang dihadapkan dengan tugas-tugas yang mengantri untuk dieksekusi dengan baik agar nilai yang didapat memuaskan. Faktor lain seperti ketidakpuasan terhadap lingkungan kampus juga membuat kita enggan untuk terlalu terlibat di dalamnya. Selanjutkan ada perubahan pola kehidupan menjadi lebih individualis, pemuda-pemudi dewasa ini cenderung lebih tertutup, dan mementingkan diri sendiri, lantas itu menyebabkan enggan untuk peduli terhadap orang lain.

Setiap tahun di tiap-tiap universitas pastinya ada diselenggarakan pemilihan raya untuk memilih Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) baik tingkat universitas maupun fakultas sebagai salah satu bentuk demokrasi di lingkungan mahasiswa. Pada momentum ini yang paling banyak dijumpai mahasiswa-mahasiswa yang enggan peduli dan ikut terlibat dalam pemilihan yang diselenggarakan dan memilih menjadi golongan putih.  Penurunan partisipasi dalam aktivitas sosial ini tak dapat lagi terhindarkan.

Sejak era sebelum reformasi mahasiswa berbondong-bondong menyuarakan aspirasi-aspirasi yang menimbun di masyarakat terhadap pemerintahan kala itu, pemikiran yang begitu optimis dan menggebu-gebu untuk mencapai sesuatu yang emansipatoris, dan pada akhirnya mereka berhasil membawa negara ini, kepemimpinan negara Indonesia ini menjadi sesuatu yang lebih baik. Namun kini kita bahkan merasa enggan atau merasa tidak mampu, tidak memiliki kuasa untuk membawa perubahan-perubahan bagi lingkungan. Pesimisme kian menggerogoti pemikiran, dari satu orang merambat ke lainnya.

Terkadang, memang lebih nyaman untuk tidak tahu apa-apa, enggan berkomentar perihal dinamika perpolitikan di kampus bahkan perpolitikan negara. Katanya “hal-hal itu tidak berpengaruh buat IPK, yang ada nambah keruwetan hidup”. Mahasiswa atau muda-mudi menjadi masyarakat parokial dalam dinamika politik itu dikarenakan citra politik di mata pemuda memang cenderung buruk, tidak ada lagi kebaikan yang dapat terlihat dari adanya politik. Tapi, mari kembali kita ingat bahwa politik adalah salah satu hal yang mengakomodir kepentingan yang ada melalui kebijakan baru nantinya, jika pemuda enggan peduli, lantas siapa yang memperbaiki?  Apakah keburukan-keburukan yang dirasakan akan dibiarkan terus terjadi? Di sini lah kita bias setidaknya memainkan sedikit peran sebagai agen perubahan, jika terlalu jauh untuk membawa perubahan bagi negara, maka kita bisa memulainya dengan membawa perubahan bagi lingkungan sekitar, menggunakan suara kita untuk memilih perwakilan-perwakilan kita yang memang layak mewakili, jika masih dirasa jauh, maka hal-hal terkecil seperti aktif dalam kegiatan kelompok, aktif dalam organisasi yang menjadi minat atau menggali minat, membantu sesama teman, bahkan membantu orang yang tidak kita kenal, hal-hal sederhana yang disebut dengan ‘kepedulian’.

Sejatinya kepedulian itu menular, jika kita peduli terhadap sesuatu atau orang lain, maka kita juga akan dipedulikan, begitu juga jika kita acuh terhadap sekitar, maka ya lingkungannya akan tidak berubah, buruk akan terus buruk, korup akan terus korup.

Hendaklah kita sebagai mahasiswa, sebagai muda-mudi negara ini mempunyai rasa kepedulian yang tinggi dan mempunyai idealisme yang sungguh-sungguh, jangan enggan peduli atau apatis, kalau bukan kita sebagai muda-mudi yang memiliki akses langsung dengan gerbang ilmu pengetahuan siapa lagi yang harus membawa perubahan menuju kebajikan.

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”- Tan Malaka

(Perspektif/Dinda Syahharani)