Darussalam – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara dan pemasok utama dalam seragam militer untuk berbagai negara di dunia, resmi ditutup pada 1 maret 2025 karena gagal dalam membayar utang. Penutupan Sritex mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran serta memperburuk krisis perekonomian. Setidaknya 10.665 karyawan yang terkena PHK massal. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa pada Januari 2025 hanya tersisa 1.065 karyawan dari anak perusahaan Sritex Group, PT Bitratex Semarang. Sementara itu, pada Februari 2025, jumlah karyawan yang terkena PHK mencapai 9.604 orang. Banyak usaha kecil dan menengah yang bergantung pada rantai pasok Sritex mengalami penurunan pendapatan akibat berkurangnya produksi sejak 2020. Situasi ini diperparah oleh anjloknya penjualan akibat Pandemi Covid-19. Di sisi lain, beban pokok penjualan meningkat hingga mencapai USD 1,05 miliar. Akibatnya, Sritex untuk pertama kalinya mengalami kerugian sejak bergabung dengan pasar modal. Kewajiban perusahaan pun membengkak dari Rp13,43 triliun pada 2019 menjadi Rp26,2 triliun pada pertengahan tahun lalu.
Pada awalnya, PT Sritex digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya, pada Januari 2022. Saat itu, CV Prima Karya mengajukan gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap Sritex. Perusahaan ini sempat terhindar dari kebangkrutan setelah tercapai kesepakatan bersama dengan seluruh kreditur. seperati, Direktur utama PT Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, mengungkapkan bahwa tingkat utilisasi Sritex mencapai 70-80%, sehingga masih mampu mengekspor produk ke beberapa negara melalui pasar mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, PT Sritex kembali digugat oleh PT Indo Bharat Rayon karena dianggap tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang yang telah disepakati. Pada akhirnya, Pengadilan Negeri Semarang mengabulkan tersebut pada Oktober 2024. pun resmi dinyatakan pailit atau tidak mampu membayar utang-utangnya.
Perombakan susunan komisaris dan direksi dilakukan di tengah upaya perseroan untuk bertahan di tengah tumpukan utang. Berdasarkan laporan yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), tercatat lialibitas sebesar USD 1,59 milliar atau setara Rp24,14 triliun hingga September 2022. Meskipun memiliki utang yang menumpuk, perseroan masih mampu menekan rugi hingga kuartal III tahun 2022. Di sisi lain, penjualan perseroan mengalami penurunan sebesar 25,57% menjadi USD 474.175.590 atau sekitar Rp 7,19 triliun hingga September 2022.
Selain menghadapi masalah keuangan internal, PT Sritex juga dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari persaingan yang semakin ketat dengan negara-negara lain, gangguan supply chain, hingga penurunan ekspor akibat kondisi geopolitik. Perang Rusia-Ukraina dan ketegangan Israel-Palestina menyebabkan perubahan prioritas permintaan di pasar Eropa dan Amerika Serikat. Selain itu, kebijakan harga produk tekstil China yang tidak sesuai turut memberikan dampak besar terhadap pasar lokal maupun internasional. Upaya yang dilakukan tidak cukup untuk mengatasi dampak persaingan harga di pasar global. Manajemen Sritex juga menyadari bahwa kebangkrutan ini menyebabkan efek domino yang berdampak pada usaha kecil dan menengah (UKM).
(Perspektif/ Zaharatun Wara)
Editor: Nabila Anris