“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.” – Tan Malaka
Darussalam – Indonesia adalah negara yang besar dengan luas wilayahnya, tapi tidak dengan pikiran penduduknya. Itulah aktualisasi yang harus diterima ketika merajut penggalan kisah semenjak zaman kolonial hingga sekarang. Bahkan ketika tulisan ini sampai kepada pembaca, kita sama-sama merasakan anomali yang sangat kuat di lingkaran kehidupan saat ini. Kerancuan dan keanehan terus menghujani bangsa ini dalam beragam bentuk; budaya, pendidikan, sosial, bahkan dalam hal berkeyakinan. Hingga dengan harapan buntu kita digiring melintasi lembah kering menuju keterpurukan dengan dalih pencerdasan!
Dikutip dari Badan Pusat Statistik 2022, sebanyak 3.107 perguruan tinggi berdiri megah di seantero negeri dengan berbagai core values dan role model masing-masing. Dalam jumlah tersebut, sebanyak 9,32 juta jiwa menjadi penyintas di dalamnya dengan sebutan ‘mahasiswa’ yang seharusnya mampu berfikir dan berdialektika layaknya kaum terpelajar. Lantas, sebuah pertanyaan besar mencuat dan menyiratkan harapan dan keniscayaan. Apa kabar mahasiswa sekarang? Apa kabar perguruan tinggi? Sudahkah berbenah dalam cita memajukan peradaban? Atau justru tenggelam dengan budaya beku nan kaku di persimpangan jalan?
Dalam buku yang berjudul Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan karya M. Agus Haryanto, Pendidikan diyakini memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Pendidikan adalah media untuk menyiapkan dan melegitimasi bentuk-bentuk tertentu kehidupan sosial. Jika hal seperti ini yang dikedepankan, maka yang menjadi basis institusi pendidikan adalah nilai-nilai idealisme. Ungkapan ini merupakan perpanjangan jabaran dari Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan dapat diterima sebagai falsafah dasar berdirinya institusi pendidikan.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi perguruan tinggi yang ada saat ini. Kebijakan yang dibuat hanya berorientasi terhadap kerangkeng sosial tanpa sedikitpun melakukan manuver dengan basis akademik. Perguruan tinggi hanya menjadi perpanjangan tangan dari budaya sosial masyarakat yang pragmatis. Sehingga peranan sebagai pembentuk kehidupan politik dan budaya sebagaimana yang dijabarkan di atas adalah hal nihil bahkan mustahil.
Tarik menarik kepentingan antara idealisme dan pragmatisme dalam dunia pendidikan memang selalu terjadi. Di satu sisi, pendidikan punya peran dalam membentuk kehidupan publik dengan turut membangun karakter bangsa, negara dan tiap warganya. Lantas kehidupan publik seperti apa yang hendak dibentuk oleh dunia pendidikan sekarang?
Berkaca dari fenomena yang menjamur, pijakan falsafah pendidikan telah bergeser dari yang semula menjunjung academic values dengan nilai yang mengedepankan etis-humanistik menjadi corporate values yang mengedepankan pragmatisme-materialistik sebagaimana yang disampaikan oleh Mu’min Boli dalam tulisannya Menelisik Budaya Pragmatis dalam Dunia Perguruan Tinggi yang ditopang dengan ‘Ideologi Pasar’ atas dinamika infiltrasi nilai korporasi.
Pijakan ini melampaui konseptualisasi dasar dari sebuah pendidikan itu sendiri. Berbagai ‘spektrum’ menyibak paradigma dalam fenomena. Pergeseran ini membawa malapetaka yang sangat menakutkan sebagai ancaman perang terhadap kaum intelektual. Persepsi sedini mungkin dibangun oleh kalangan tak terlihat sebagai argumen candu yang baku, sesat lagi menyesatkan dalam bingkai pendidikan. “Pendidikan adalah hak dasar kemanusiaan, sedangkan industrialisasi pendidikan adalah neraka kegilaan”.
Degradasi eksistensi manusia dalam menjalankan visi ber-pendidikan mencuat besar bersamaan dengan meningkatnya stigma link and match di kalangan publik beberapa dekade ini. Dalam penguatannya, Jerry Z Muller dalam buku yang berjudul The Tyranny of Metrics yang terbit pada tahun 2018 menyinggung salah satu faktor yang turut meracuni otonomi intelektual adalah konsep standarisasi kelayakan menggunakan kinerja-kuantitatif atau angka. Hal ini menjadi anggukan faktual atas penderitaan akal sehat di Indonesia sendiri maupun dunia.
Mengutip kalimat Rakhmat Hidayat (2022), “Kinerja akademisi berada dalam bayang-bayang dan tekanan metrifikasi dan mengubah mereka menjadi robot mekanisme kuantifikasi”. Secara provokatif, kalimat ini menarik benang pada kesimpulan dasar faktor penjamuran pragmatisme dalam dunia pendidikan. Kita terjebak dalam budaya beku dengan penekanan pencapaian progresif terletak pada angka yang dalam implementasinya terjerat dengan berbagai sub-point penamaan. Sebut saja nilai indeks kumulatif, akreditasi, perangkingan, dan lain-lain.
Jangan lupakan! secara sadar kita mengetahui dan mengakui bahwa ‘angka’ adalah variabel inti dari ideologi pasar. Sehingga kaum intelektual harus terjerembab dalam lingkaran setan ini dengan menggadaikan berbagai modal dasar individual. Mulai dari keilmuwan, identitas, elektabilitas, otonomi, hingga harga diri sekalipun menjadi hal yang sangat mungkin dan akan dimungkinkan untuk digadai dalam industrialisasi pendidikan demi mengejar formalitas ‘angka’ yang abu-abu.
Pada kesimpulannya, kita mengerucut pada kegagalan mental kaum intelektual dalam mengidentifikasi falsafah pendidikan yang telah bergeser adalah bukti nyata kita sedang berkendara ke arah yang salah. Pragmatisme adalah dampak fluaktif yang dimungkinkan dari nilai pasar dalam industrialisasi pendidikan. Kecacatan ini seakan terus menerus dirawat dengan diksi manipulatif yang dikobarkan dari balik tirai hitam kekuasaan.
Penulis: Akal Budi, Mahasiswa Fakultas Ekonomi & Bisnis USK