Jenderal Abdul Haris Nasution yang sempat mengarahkan meriam ke arah Istana Merdeka, diberikan kesempatan menduduki jabatan tinggi di militer setelah aksinya itu. Pada era Orde Baru, Sarwono Kusumaatmaja naik ke kursi Sekjen Golkar setelah menjadi aktivis mahasiswa yang kerap mengkritik pemerintah, meskipun pada akhirnya dia mengusulkan operasi cabut gigi di tubuh pemerintah. Widji Thukul yang dikenal kerap menggaungkan puisinya melawan Soeharto juga hingga kini tidak dapat dipastikan kabarnya. Setelah UUD 1945 memberikan hak kepada warga negara untuk menyatakan pendapat dengan lebih jelas melalui amandemen kedua, perubahan konstitusi juga tidak menjamin bahwa masyarakat mampu mengekstensi haknya terutama jika itu ditujukan kepada pihak yang menjalankan republik ini, atau mungkin aparat penegak hukum yang melewatkan poin tersebut.
Adanya konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat bukan berarti masyarakat bisa mengoperasionalkan haknya tanpa konsekuensi atas perilaku tersebut. 17 Oktober 1952, Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat memimpin pasukan yang mengarahkan meriam ke Istana Merdeka dan menuntut Soekarno sebagai presiden untuk membubarkan lembaga legislatif yang menurut Nasution mencampuri urusan militer terlalu dalam. Meskipun meriam diarahkan kepadanya Soekarno tidak memenuhi tuntutan militer, tetapi juga tidak menjatuhkan sanksi kepada militer yang mengarahkan meriam ke arahnya. Sebab yang dipertentangkan oleh militer bukan Soekarno. Respon yang berbeda dirasakan oleh orang orang yang secara lebih eksplisit menentang Soekarno. Sutan Sjahrir adalah salah seorang yang mendapat ganjaran karena menentang Soekarno itu, Sjahrir berbeda pendapat mengenai struktur partai yang ada di Indonesia. Soekarno ingin menyederhanakan partai politik, tetapi Sjahrir berpendapat bahwa keberagaman yang ada di Indonesia harus diakomodasi dengan keberadaan partai politik yang juga beragam, Sjahrir juga mengkritik Partai Komunis Indonesia yang saat awal 60an menjadi salah satu penopang kekuasaan politik Soekarno. Sjahrir menyebutkan bahwa PKI bukan partai komunis sejati, bahkan menyebut bahwa PKI lumpuh dan impoten Soekarno yang beberapa kali mengalami upaya pembunuhan selalu menunjuk orang yang bertentangan dengannya sebagai pihak di balik upaya pembunuhan tersebut, Sjahrir yang menunjukkan perbedaan pandangannya dengan Soekarno menjadi sasaran Soekarno.
Setelah terjadinya peristiwa G30S, PKI yang menjadi salah satu pilar kekuasaan Soekarno ikut menyeret Soekarno jatuh. Pemerintahan digantikan dengan rezim militer otoritarian dengan konstitusi yang sama, menjamin kebebasan berpendapat seperti era Orde Lama. Namun, tidak ada yang baru di era Orde Baru terkait kebebasan berpendapat, pemerintah masih tidak nyaman mendengar kritik atau bahkan saran. Selama menjadi penguasa di Indonesia selama 32 tahun, orang-orang yang berada di lingkaran Soeharto mengalami sirkulasi yang dinamis. Salah satu tokoh yang pernah berada di lingkaran kekuasaan adalah Sarwono Kusumaatmadja, aktivis mahasiswa ITB yang membuat pemerintah tidak nyaman. Sarwono kemudian diberikan ajakan untuk menjadi anggota DPR dari fraksi Golkar atau memilih ditangkap oleh militer. Buah dari sikap kritis banyak aktivis atau tokoh lain tidak semanis yang dirasakan Sarwono. Salah satu orang kepercayaan Soeharto, Benny Moerdani, dikucilkan setelah meminta langsung kepada Soeharto untuk mengawasi bisnis anak-anaknya. Hingga ujung kekuasaanya Soeharto tetap tidak nyaman ketika ada pihak yang menggoyang kursi kepemimpinannya. Widji Thukul, yang mengkritik pemerintah dengan sajaknya hingga saat ini hilang tak diketahui keberadaannya, banyak yang mencurigai pemerintahan Soeharto yang menghapus jejak Widji.
Rezim totalitarian berusaha diubah menjadi pemerintahan yang lebih demokratis dan upaya ini masih terus berlanjut. Dengan merombak konstitusi. berusia 54 tahun sebanyak empat kali dalam kurun waktu tiga tahun telah ditambahkan poin yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Namun, setali tiga uang dengan era kepemimpinan sebelumnya penegakkan dari hak konstitusional itu belum berjalan sesuai harapan. Pasca reformasi terjadi lompatan yang mengubah pola pertukaran informasi, kini tidak perlu seperti Nasution yang memiliki barisan anak buah untuk menyatakan sikap, tak perlu menjadi pemimpin partai seperti Sjahrir untuk menentang, tak perlu punya penggemar seperti Widji untuk membuat pemerintah tidak nyaman duduk di bangku kekuasaan. Dengan akses terhadap internet yang masif di masyarakat, internet—khususnya sosial media—menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengutarakan pendapatnya. Mulai dari masalah bernegara seperti perilaku aktor negara yang dianggap keliru sampai konflik antar warga ketika suara yang dikeluarkan melalui pelantang di masjid sekitar rumahnya dianggap mengganggu. Tentu dengan perbedaan cakupan pendapat tersebut pihak yang merespon juga berbeda. Contohnya adalah ketika Luhut Binsar Pandjaitan melayangkan gugatan hukum terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Fatia dan Haris digugat atas tuduhan pencemaran nama baik karena menyebutkan adanya keterlibatan Luhut dalam bisnis ilegal. Namun, bukan hal baru bahwa Luhut mendapatkan kritik atas perilakunya oleh masyarakat, tetapi baru Fatia dan Haris yang mendapat panggilan ke pengadilan.
Upaya pembungkaman seseorang yang menyatakan pendapat tentulah merupakan pelanggaran hukum. Campbell et al, dalam bukunya menjelaskan hal yang menjadi dijadikan pertimbangan seseorang melanggar hukum merupakan perhitungan matematis atas manfaat dan kerugian. Mungkin saja Soekarno merasa bahwa tuntutan yang dilayangkan oleh Nasution tidak mengarah kepadanya melainkan kepada lembaga legislatif dan memutuskan bahwa membungkam Nasution tidak akan membawa manfaat. Sedangkan Sjahrir, secara langsung mengkritik pemikiran dan kebijakannya dan menjadi ancaman yang perlu mendapatkan hukuman. Barangkali, Soeharto melakukan perhitungan serupa ketika mengajak Sarwono—seorang aktivis tukang kritik pemerintah yang tidak memiliki daya politik yang kuat—menjadi bagian dari kekuasaan. Sedangkan Benny yang mengkritik usaha anak-anaknya di depan muka Soeharto harus menjauh dari barisan orang terdekat Cendana. Keputusan pemerintahan eksekutif pasca reformasi yang juga tidak minim kritik untuk tidak melayangkan hukuman kepada para pemberi catatan juga mungkin hasil pertimbangan bahwa dengan menjaga hak kebebasan berpendapat, pemerintah menjaga citra mampu menjalankan pemerintahan yang demokratis. Akan tetapi, keputusan Luhut untuk menggugat Fatia dan Haris juga,mungkin sekali lagi—atas kalkulasi seberapa besar dampak ucapan Fatia dan Haris yang merupakan aktivis kondang di Indonesia.
Pasca reformasi juga terjadi perubahan besar dalam bagaimana informasi disampaikan dan diterima. Bukan hanya seorang petinggi militer atau ketua partai yang bisa diketahui pendapat dan pikirannya. Kini setiap individu mampu menyampaikan pendapatnya melalui internet. Karena semakin mudahnya kita mengakses pendapat dan pikiran seseorang, pihak yang mengkalkulasi manfaat dan kerugian untuk mengupayakan hak kebebasan berpendapat seseorang dicabut juga semakin besar. Seorang komedian bernama Pandji Pragiwaksono menjadi salah satu contohnya. Dalam pertunjukan komedinya, Pandji melontarkan frasa “kucing gembel” yang menjadi bagian dari leluconnya. Atas frasa tersebut kemudian banyak pihak yang meminta Pandji untuk menarik ucapan tersebut. Pihak yang meminta Pandji menarik ucapannya merasa, meminta Pandji untuk menarik ucapannya akan membawa manfaat—menunjukkan seberapa besar kepeduliannya terhadap kucing—dibandingkan kerugian yang bisa diterima atas tuntutannya—perkara hukum karena melanggar hak seseorang yang tertera dalam konstitusi.
Dengan akses untuk menyatakan pendapat dan melihat pendapat seseorang, kini bukan hanya pendapat dan pikiran mengenai bagaimana menjalankan pemerintahan atau ide-ide kebangsaan yang menjadi perbincangan di masyarakat. Frasa tentang kucing yang dianggap peyoratif pun bisa mengundang pihak lain untuk mengkalkulasikan responnya terhadap pendapat tersebut. Masyarakat perlu terus diingatkan bahwa negara–melalui konstitusi–menjamin hak warga untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya di muka umum, sehingga kita semua wajib menjaga hak masing-masing warga tersebut.
Gunawan Chandra