BeritaNasionalOpini

Pendidikan dan Alat Penindasan

×

Pendidikan dan Alat Penindasan

Sebarkan artikel ini

“Tragedi terakhir bukanlah penindasan dan kekejaman oleh orang-orang jahat, tetapi kebungkaman atas itu oleh orang-orang baik.” – Martin Luther King, Jr.

Darussalam – Nilai murni para intelektual yang dibawa pada post-modern ini terus-menerus tergerus dan pudar. Berbagai konsekuensi atas kegamangan nilai tersebut terus saja bermunculan dan mendapat legitimasi di lingkup sosial sebagai suatu ‘kezaliman yang dilazimkan’. Degradasi pijakan nilai tersebut menghasilkan output yang sangat mengerikan dalam kehidupan bersosial dengan berbagai agenda penghancurannya. Lagi-lagi persoalan kemanusiaan menjadi korban kesemuan dialektik ini.

Secara faktual, kengerian ini terjadi akibat dampak implisit dari kegagalan intelektual dalam merawat nilai dan perasaan serta legalisasi doktrin pro-kemapanan. Argumentasi yang digaungkan berputar dalam skema privatisasi dan materialistik yang secara frontal membudidayakan arogansi dan egoitas intelektual itu sendiri. Alhasil, kebuasaan akal fikiran yang tak terbendung menjadi birahi liar yang berujung pada penghancuran demi kepuasaan material yang semu.

Dalam sejarah panjang ilmu pengetahuan, fenomena ini turut disokong oleh pemikiran-pemikiran terdahulu yang menempatkan kaum intelektual pada positivistik-mekanistik yang menutup diri dari aspek-aspek  non-epistemik (penilaian moral, religius, budaya, sosial, kemanusiaan, dll.) dalam proses keilmuwannya. Kalangan ini dikenal dengan Lingkaran Wina (Vienna Circle) yang didirikan pada tahun 1921 oleh Moritz Schlick di Austria. Asumsi epistemologis mereka adalah bahwa pengetahuan hanya dapat sahih apabila bisa terukur, teramati, dan terverifikasi. Sehingga asas kemanusiaan luput dari stigma perumusan ilmiah karena tidak bisa diukur dan diverifikasi dengan angka.

Semangat pendidikan saat ini sedikit banyaknya telah mengonsumsi praktik tersebut. Menjadikan kaum intelektual layaknya ‘monster buas’ yang siap menerkam apa saja asalkan  kepentingan dan kebutuhannya terpenuhi. Hal ini menimbulkan kegamangan yang luar biasa dalam kehidupan, kala kalangan ini mulai kehilangan simpati dan sensibilitas atas permasalahan kemanusiaan yang sangat dalam. Sehingga lahirlah ‘manusia angka’ yang kehilangan daya-daya abstrak-imajinatif-kreatif sebagaimana ungkapan Karlina Supelli.

Acapkali, persoalan ini membelah aspek sains (pengetahuan) dan humaniora (kemanusiaan) menjadi dua bagian terpisah. Hal ini juga diimplementasikan oleh berbagai perguruan tinggi dalam spesialisasi pendidikan. Di antara dua hal yang dipisahkan tersebut, terdapat keretakan yang seharusnya harus dipikirkan. Meminjam istilah ilmuwan dan novelis asal Inggris, C.P. Snow (1905-198) dalam tulisan dengan judul The Two Cultures. C.P. Snow mengatakan di sana terdapat “a gulf of mutual incomprehension“ (sebuah jurang pemisah) yang memisahkan antar disiplin ilmu yang sangat rentan mengalami keretakan keilmuwan. Sehingga harmoni kelogisan pikiran menjadi sirna dan terpisah.

Stanley Milgram (1933-1984) dalam karyanya Obedience To Authority menyimpulkan bahwa fenomena ini diprakarsai oleh kepatuhan individu pada otoritas dengan kekangan ketakutan absolut pada kebijakan. Sehingga melahirkan civitas etatisme yang meyakini segala kebenaran berasal dari kebijakan negara dan mengambil lakon sebagai ‘pembenar’ legitimasi kekuasaan. Tentu saja hal ini selaras dengan apa yang terjadi di perguruan tinggi saat ini.

Dilema ini membawa kabar duka dalam bentuk angguk dan tunduk pada segala hal yang mengikat kebebasan kampus yang seharusnya menjadi pengoreksi kebijakan. Sekarang justru terbalik, kampus sebagai batang tubuh pendidikan justru menjadi pengejewantahan ketakutan pada kekuasaan yang mewadahi segala agenda ‘tak waras’ dari negara. Mulai dari klasifikasi matriks atas nama akreditasi yang mengukur keberadaan perguruan dengan dialek angka yang kaku, hingga agenda-agenda  yang mengiblatkan orientasi pikiran pada kemewahan personalia dan pro-kemapanan. Perguruan tinggi tak lagi menjadi basis kritisisme terhadap kebijakan, sehingga ungkapan kampus sebagai tunggak peradaban harus ditarik dan ditimbang kembali. Kampus menjelma menjadi kompetitor yang memperebutkan posisi klasifikasi ketimbang memikirkan isi kepala di dalamnya.

Begitulah kapitalisme menggiring pemikiran individu menjadi instant hope yang menghilangkan keberanian dan kepedulian atas rasa kemanusiaan dengan iming materi dan personal luxurious. Sehingga jurang pemisah antara keilmuwan dan kemanusiaan semakin menganga lebar, siap melahap apapun yang berjalan di sekitarnya.

Suka atau tidak, sejenak kita membeberkan betapa kerancuan di tubuh pendidikan semakin mencekat baik dalam kebijakan maupun alur pembelajaran. Kampus kemudian berlakon layaknya ‘perseroan’ yang bergerak di sektor pendidikan dan menjadi mitra kekuasaan. Setiap tahun kampus memproduksi bahan baku, mesin, hingga budak yang dipersiapkan untuk kebutuhan industrialisasi yang dipesan oleh negara. ‘Kampus Merdeka’ adalah slogan problematik, kala pikiran didalamnya dikekang dan dikangkangi oleh birahi negara dalam memperpanjang barisan penindasan.

Penulis : Akal Budi, Mahasiswa