Darussalam – Konsumsi energi di Indonesia saat ini terus mengalami kenaikan di berbagai sektor baik dari sektor minyak dan gas maupun penggunaan energi listrik. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan negara berkembang lainnya, Indonesia masih terhitung rendah dalam penggunaan energinya setiap tahun.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia selama ini sangat bergantung dengan energi fosil seperti minyak bumi, gas, dan batu bara. Melansir dari CNBC Indonesia, cadangan migas RI di tahun 2020 hanya 2,5 miliar atau sekitar 8,7 tahun. Tidak hanya minyak dan gas, batu bara juga mengalami penurunan yang mana saat ini cadangan batu bara di Indonesia hanya 3,7% dari cadangan dunia. Jika penggunaan energi fosil ini terus berlanjut maka diproyeksikan cadangan energi fosil dunia akan habis menjelang tahun 2050.
Maka dari itu dibutuhkan sebuah perubahan paradigma dalam memandang energi sebagai modal pembangunan yang didukung dengan inovasi kebijakan energi yang berorientasi pada pemanfaatan sumber-sumber energi yang bersih dan berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Ekonomi Nasional menyatakan bahwa Sumber Daya Energi ditujukan untuk modal pembangunan guna sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, energi yang ada saat ini dapat dimanfaatkan dalam rangka menopang pembangunan nasional dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
“Pemerintah telah memberikan target bahwa di tahun 2025 bauran energi baru dan terbarukan di dalam bauran energi nasional meningkat menjadi 23%. Walaupun pada tahun 2021 angkanya sekitar 12% yang artinya kita harus meningkatkan bauran energi terbarukan 2 kali lipat dalam lima tahun ke depan.” Ujar Prof. Dr. Deendarlianto dalam wawancaranya bersama UGM Channel.
Dilihat dari kekayaan alamnya, Indonesia memiliki semua potensi energi terbarukan seperti surya, air, angin, panas bumi, dan bioenergi. Direktur Jendral EBTKE (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi), Dadan Kusdiana dalam forum diskusi internasional menyatakan Indonesia memiliki cadangan panas bumi yang besar mencapai 400 GW, pembangkit surya ada tambahan sebesar 11 MW untuk panel atap, sedangkan untuk potensi angin dan hidro memiliki potensi yang sama yaitu sebesar 150 GW. Selanjutnya ujar Dirjen EBTKE, Indonesia juga memiliki banyak energi potensial untuk bioenergi dan dalam implementasinya juga cukup besar, yaitu sebesar 2 GW yang penggunanya lebih banyak dari sektor kelapa sawit.
Sayangnya, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi pemerintah dalam pengembangan bauran energi baru terbarukan (EBT). Salah satunya adalah terkait investasi sektor energi ramah lingkungan tersebut. Pasalnya, dalam merealisasikan proyek EBT ini membutuhkan dana yang tinggi terlebih lagi saat ini negara lain juga sedang berupaya menarik para investor untuk menggarap sektor EBT di negaranya. Hal ini membuat daya saing semakin ketat. Kompetisi ini harus diantisipasi agar investor tetap masuk ke Indonesia.
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi dari pengembangan EBT di Indonesia muncul dari minimnya infrastruktur dalam mendukung proses pengembangan ini. Menurut data dari The International Renewable Energy Agency (IRENA), biaya pendirian infrastruktur pembangkit EBT yang terus menurun dari tahun ke tahun akibat respon dari teknologi yang semakin berkembang dan permintaan yang semakin tinggi menyebabkan minimnya pembangunan infrastruktur pendukung. Oleh karena itu, menurut Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dalam wawancaranya bersama Kontan.co.id mengatakan langkah yang dapat ditempuh yakni dengan mengubah pola perencanaan pembangunan kawasan seperti kawasan ekonomi dan kawasan industri. Jika selama ini sumber energi akan disediakan di tempat di mana telah ada kawasan ekonomi dan kawasan industri, maka pola ini diubah. Nantinya pengembangan kawasan ekonomi akan bergantung pada lokasi sumber energi.
Saat ini, pemerintah juga terus menyusun target dan strategi dalam merealisasikan proyek pengembangan EBT. Kementerian ESDM menargetkan bauran EBT terhadap energi nasional dapat mencapai 31 persen pada tahun 2050, dimana pada tahun tersebut, pasokan listrik nasional diproyeksi mencapai 200 GW, dengan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen setiap tahunnya. Diharapkan kedepannya Indonesia dapat mencapai target yang telah disusun sehingga kita telah siap dalam menghadapi krisis energi yang akan datang. (Abi & Tia/Perspektif)