Darussalam – Kemarin (10/2), media sosial yang menjadi tempat sambat para kaum rebahan alias twitter sedang ramai-ramainya membicarakan tentang akun Instagram milik BEMFT Universitas Negeri Jakarta yang foto para pengurus perempuannya diblur, sedangkan BEM FMIPA diganti kartun. Itu yang dibuatkan kartun, tolong diingat bahwa UNJ ini adalah Universitas Negeri Jakarta, bukan Universitas Negeri Jepang. Eh itu mah anime.
Warga twitter merasa ter-triggred dikarenakan tindakan seperti ini dapat berarti semacam upaya pengusiran secara halus terhadap citra perempuan di ruang publik atau dugaanya adalah, Patriaki.
Apa sih itu Patriaki?
Dikutip dari mbah Wikipedia, Patriaki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Nah, lebih jelasnya maksudnya adalah hak istimewa laki-laki berada di atas, dan menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki.
Berawal dari cuitan akun twitter seseorang, yakni @Nadyazura, dengan capslock alias gas terooos sist mengatakan, “ GILAK ITU NAMANYA PENGHAPUSAN PERAN/EKSISTENSI PEREMPUAN DARI SEJARAH!”, pun mendapatkan banyak tanggapan dengan beragam opini mereka. (Februari 9, 2020)
Lebih konyolnya, katanya pihak pengurus perempuan di UNJ yang dikartunkan atau diberi shades itu berdasarkan permintaan mereka sendiri. Katanya~~~
Dilansir dari Kumparan, ketua BEM UNJ sendiri angkat bicara, “Kalau sepemahaman saya, itu perminataan ceweknya. Ada bagian cewek itu ada yang kayak anak-anak Mushala gitu. Saya juga kayak biasa aja. Biasanya bahkan enggak ada postingan kabinet, tapi ini kan kebutuhan organisasi.”
Namun kalau dipikir-pikir, terlepas dari kemauan yang bersangkutan, apakah masalah ini akan selesai begitu saja? Oh tentu tidak bos. Bukannya tindakan ini akan membuka peluang besar bagi tindakan diskriminasi perempuan dibawah naungan Patriaki gadungan?
Begini, para pengurus perempuan ini dengan gaya eksisnya berfoto malah mendapatkan shades grey yang membuatnya terlihat seakan-akan opacity foto dikurangi, sedangkan para pengurus lelaki dengan suka-ria terpampang jelas adalah sebuah kode kemauan untuk didominasi.
Padahal kalau dirasa, kita sama-sama kerja dan mengurusi organisasi, tapi yang dapat keuntungan banyak adalah pihak lelaki, sementara perempuannya bersembunyi di balik layar. Korelasinya sudah bisa disambungkan nih ke sistem Patriaki bung.
Berbincang-bincang mengenai Patriaki, bisa bayangkan kalau lelaki yang mendominasi dunia ini di dalam sebuah sistem? Bukan mengajak berdebat, baca dulu sini. Hakikatnya manusia diciptakan dengan dua gender yang berbeda, dan dalam segi apapun berbeda, bahkan segi kebutuhan untuk lelaki dan perempuan pun berbeda.
Nah, coba tuh bayangkan kalau dalam suatu sistem, tidak ada perwakilan dari pihak perempuan? Bakalan kayak gimana coba kira-kira? Ruang terbuka untuk perempuan menjadi terbatas, suara perempuan diacuhkan, pergerakan perempuan diremehkan, dan masih banyak hal buruk lainnya ladies.
Sederhananya gini bung, kita ini kan hidup berdampingan, masalah yang muncul bisa sangat kompleks dan disaat seperti itulah kita butuh membandingkan, baik dari sisi lelaki dengan logika, maupun perempuan dengan perasaan, kan nanti bisa dipilih mana solusi yang baik, malah bisa menjadi pelengkap solusi satu sama lain. Bukan pelengkap kisah hidup kita berdua ya sayang.
Dalam ranah personal, budaya Patriaki adalah akar munculnya berbagai kekerasan yang dialamatkan oleh lelaki kepada perempuan, atas dasar “hak istimewa” yang dimiliki laki-laki, bahkan mereka memiliki hak untuk mengeksploitasi tubuh perempuan. Astaghfirullah. Haram akhi.
Jadi gimana menurut ladies-ladies mengenai bungkusan masalah sepele ini bisa menjadi budaya patriaki yang bisa saja sebenarnya sedang diterapkan diam-diam dengan berdalih foto diri yang diunggah dalam akun organisasi dapat menimbulkan fitnah yang nyata nan ilusif? Bukan bermaksud mengajak ke dalam keributan, tahan-tahan emosi dulu.
Konsep kasus ini bukan mengolok-olok Patriaki dan menyuarakan Feminisme. Namun, alangkah baiknya kehidupan kita yang bertumpah darah satu, berbangsa yang satu, bahasa persatuan, yaitu Indonesia, menjalankan kehidupan demokrasi yang baik, sebagaimana leluhur menitipkan tanah air ini kepada kita.
“Negara kita beragam, butuh kemampuan toleransi guna mencari jalan tengah untuk menghadapi perbedaan.” – Najwa Shihab (Perspektif)